Agak
tergesa aku berjalan di halte busway, aku berjalan dengan hampir beberapa kali
menabrak orang, beberapa orang melihatku dengan pandangan macam-macam, ada yang
sinis, ada yang geli, ada yang dingin.
Aku hanya tersenyum malu dalam hati.
Sempat kudengar celetuk kecil, kucari wajah itu, tapi tak kutemukan, biarlah.
Sambil menunggu busway yang membawaku ke Monas, aku sempat melihat seorang
kakek cina, umurnya mungkin 60 tahun. Dia menatap lurus pada poster besar yang
terpampang di halte, tampak bibirnya sedikit bergetar-getar, mungkin
nggerundel, mungkin juga karena sakit atau… entahlah, kalaupun aku bisa
mendengar suaranya, mustahil aku memahami bahasanya.
Busway datang, kami berjajar, pintu
terbuka, kami masuk, ada yang dapat tempat duduk, aku pilih berdiri, embusan
sejuk pendingin udara, pintu tertutup, busway menderu, aku mengantuk. Tiba-tiba
kurasakan seseorang menyenggol lenganku. Kulihat si kakek itu ada disampingku.
Dia berkata, “ABCDEFGHIJK.”
“Apa? Mmm… maaf?"
Dia mengulangi lagi ucapannya yang
tentunya menggunakan bahasa mandarin, sekali lagi aku hanya senyum-senyum
karena sama sekali tak paham.
Akan tetapi, sepertinya kakek ini
berusaha sekali agar aku memahami apa yang dia ucapkan, tangannya mulai melayang-layang
membentuk garis-garis yang dibiarkan membekas di udara, agar aku bisa
menafsirkannya. Ada lingkaran, mungkin. Ada garis meliuk-liuk, ada gerakan
sentrifugal yang diakhiri dengan titik tengah. Lalu jemarinya bergesekan satu
sama lain, uang! Itu saja yang kupahami, masalah uang! Edan! Mengapa uang
adalah bahasa dunia?
“Kamu mau uang?” ucapku sekenanya,
seraya merogoh uang kecil di saku, dia segera menolak. Menolak? Berarti dia
tidak butuh uang, tetapi jelas dia bicara soal uang.
Percakapan singkat itu berakhir
karena aku harus turun. Aku bergegas menyelinap di antara mereka yang juga
tergesa-gesa. Keluar dari halte, kutemukan cahaya matahari siang yang berusaha
keras menembus mendung, bangunan-bangungan menjulang menyapaku dingin, bis kota
berseliweran di antara kendaraan pribadi. Aspal yang steril, hitam dan
berkilat, antara halte dan monas terdapat sebuah taman. Aku melintasi taman
dengan langkah tergesa, kurasakan aku mengalir saja bagai angin, tak
memedulikan manusia lalu-lalang dan semua kejadian yang terjadi saat itu,
pikiranku masih saja tertuju pada si kakek yang sama sekali tak kupahami
kata-katanya, tetapi menyisipkan pengetian tertentu pada diriku.
Kepalanya yang nyaris botak,
berkilat-kilat di sela ubannya yang jarang, wajahnya yang keriput, terlalu
banyak untuk usianya, serta posturnya yang kurus kering itu, begitu melekat.
Aneh, karena sosok yang demikian itu bisa kujumpai di mana pun, sosok yang
tidak asing lagi, yang tak perlu aku pikirkan.
Kakiku berada di taman monumen
nasional, agak nyaman juga berada di keteduhan yang tak seberapa ini.
Burung-burung yang kuduga burung gagak atau sejenisnya berterbangan di sana.
Hinggap di dahan-dahan, berkicau di antara kicauan burung lainnya, mengisi
siang ditaman itu, bersih, hijau, sedap dimata, segar itulah yang kurasakan.
Betapa terkejutnya aku ketika mataku
tertuju pada sosok yang tengah jongkok di salah satu sudut taman, di bawah
salah satu pohon rimbun, itu si kakek! Bagaimana mungkin? Bukankah tadi dia ada
dibelakangku? Atau malah dia ikut busway itu, entah ke halte mana? Mengapa dia tiba-tiba ada di tengah taman?
Secara logika, kalaupun dia searah denganku, pasti dia masih di halte, jalannya
saja sudah terseok-seok. Dia tiba-tiba sudah di taman ini, yang artinya
beberapa kali lebih cepat dari langkah kakiku, bagaimana mungkin? Apakah dia
terbang?
Aku penasaran dan kudekati dia,
sekedar memastikan apakah dia itu si “Dia” atau orang lain yang mungkin saja
mirip. Dia teriak senang, dia segera bangkit menyambutku dengan muncratan
kata-katanya yang tak kupahami benar, dia rupa-rupanya bercerita tentang seekor
burung yang tergeletak di depannya itu.
Aku tahu bahwa dia bercerita tentang burung yang masih tergeletak itu dengan caranya
menunjuk-nunjuk dan garis-garis tangannya yang kurus itu di udara, dari
ekspresinya aku jadi mengerti bahwa dia sedang duduk di taman itu, tiba-tiba
ada burung terbang oleng, menabrak pohon dan jatuh tepat di hadapannya. Lantas
si kakek mengumpulkan daun-daun yang ada di sekitar tempat itu, dia mengobati
burung itu dengan kunyahan daun lalu cairan kunyahannya dia masukan dalam mulut
si burung. Ajaib! Burung yang sudah sekarat itu mulai bergerak-gerak dan
keinginannya untuk hidup menyala kembali.
Si kakek senang, karena di usianya
yang sudah lanjut itu dia masih memberi kehidupan bagi mahluk lain, itulah yang
bisa kutangkap dari semua bunyi dan gerakan tangan serta ekspresinya, aku
tertegun dan itu membuatku bisu beberapa saat. Mataku terpaku pada burung yang
mulai berjalan dan masih terjengkang-jengkang, tetapi semakin lama semakin
kuat, mataku masih terpaku padanya sampai bisa kusaksikan sendiri dia terbang
ke salah satu dahan di balik rimbunnya dedaunan. Desahan napasku terhembus
keluar, lega sekali.
Si kakek terkekeh.
“Nama … nama … kakek siapa?” kataku
sambil menunjuk-nunjuk dadaku sendiri, dia mengangguk-angguk tanda paham.
“Nama kakek siapa?” tanyaku sambil
menunjuk-nunjuk dirinya
Dia memandang sesaat dengan mata
rabunnya, lalu seraya mengibas-ngibaskan lengannya, dia terkekeh geli. Kuulangi
lagi pertanyaanku dan sekali lagi dia mengulangi gerakan dan tawanya. Mungkin
dia tak mau menyebutkan namanya.
Aku menjawab reaksinya dengan tawa
lebar, kami jadi terkekeh-kekeh di siang bolong, sempat kusaksikan orang-orang
memandang ke arahku dengan pandangan curiga
0 komentar:
Posting Komentar