Selasa, 17 Februari 2015

Kakek Cina by. DeanChan - Chep



          Agak tergesa aku berjalan di halte busway, aku berjalan dengan hampir beberapa kali menabrak orang, beberapa orang melihatku dengan pandangan macam-macam, ada yang sinis, ada yang geli, ada yang dingin.

        Aku hanya tersenyum malu dalam hati. Sempat kudengar celetuk kecil, kucari wajah itu, tapi tak kutemukan, biarlah. Sambil menunggu busway yang membawaku ke Monas, aku sempat melihat seorang kakek cina, umurnya mungkin 60 tahun. Dia menatap lurus pada poster besar yang terpampang di halte, tampak bibirnya sedikit bergetar-getar, mungkin nggerundel, mungkin juga karena sakit atau… entahlah, kalaupun aku bisa mendengar suaranya, mustahil aku memahami bahasanya.

            Busway datang, kami berjajar, pintu terbuka, kami masuk, ada yang dapat tempat duduk, aku pilih berdiri, embusan sejuk pendingin udara, pintu tertutup, busway menderu, aku mengantuk. Tiba-tiba kurasakan seseorang menyenggol lenganku. Kulihat si kakek itu ada disampingku.

            Dia berkata, “ABCDEFGHIJK.”

            “Apa? Mmm… maaf?"

            Dia mengulangi lagi ucapannya yang tentunya menggunakan bahasa mandarin, sekali lagi aku hanya senyum-senyum karena sama sekali tak paham.

            Akan tetapi, sepertinya kakek ini berusaha sekali agar aku memahami apa yang dia ucapkan, tangannya mulai melayang-layang membentuk garis-garis yang dibiarkan membekas di udara, agar aku bisa menafsirkannya. Ada lingkaran, mungkin. Ada garis meliuk-liuk, ada gerakan sentrifugal yang diakhiri dengan titik tengah. Lalu jemarinya bergesekan satu sama lain, uang! Itu saja yang kupahami, masalah uang! Edan! Mengapa uang adalah bahasa dunia?

            “Kamu mau uang?” ucapku sekenanya, seraya merogoh uang kecil di saku, dia segera menolak. Menolak? Berarti dia tidak butuh uang, tetapi jelas dia bicara soal uang.

            Percakapan singkat itu berakhir karena aku harus turun. Aku bergegas menyelinap di antara mereka yang juga tergesa-gesa. Keluar dari halte, kutemukan cahaya matahari siang yang berusaha keras menembus mendung, bangunan-bangungan menjulang menyapaku dingin, bis kota berseliweran di antara kendaraan pribadi. Aspal yang steril, hitam dan berkilat, antara halte dan monas terdapat sebuah taman. Aku melintasi taman dengan langkah tergesa, kurasakan aku mengalir saja bagai angin, tak memedulikan manusia lalu-lalang dan semua kejadian yang terjadi saat itu, pikiranku masih saja tertuju pada si kakek yang sama sekali tak kupahami kata-katanya, tetapi menyisipkan pengetian tertentu pada diriku.

            Kepalanya yang nyaris botak, berkilat-kilat di sela ubannya yang jarang, wajahnya yang keriput, terlalu banyak untuk usianya, serta posturnya yang kurus kering itu, begitu melekat. Aneh, karena sosok yang demikian itu bisa kujumpai di mana pun, sosok yang tidak asing lagi, yang tak perlu aku pikirkan.

            Kakiku berada di taman monumen nasional, agak nyaman juga berada di keteduhan yang tak seberapa ini. Burung-burung yang kuduga burung gagak atau sejenisnya berterbangan di sana. Hinggap di dahan-dahan, berkicau di antara kicauan burung lainnya, mengisi siang ditaman itu, bersih, hijau, sedap dimata, segar itulah yang kurasakan.

            Betapa terkejutnya aku ketika mataku tertuju pada sosok yang tengah jongkok di salah satu sudut taman, di bawah salah satu pohon rimbun, itu si kakek! Bagaimana mungkin? Bukankah tadi dia ada dibelakangku? Atau malah dia ikut busway itu, entah ke halte mana?  Mengapa dia tiba-tiba ada di tengah taman? Secara logika, kalaupun dia searah denganku, pasti dia masih di halte, jalannya saja sudah terseok-seok. Dia tiba-tiba sudah di taman ini, yang artinya beberapa kali lebih cepat dari langkah kakiku, bagaimana mungkin? Apakah dia terbang?
            Aku penasaran dan kudekati dia, sekedar memastikan apakah dia itu si “Dia” atau orang lain yang mungkin saja mirip. Dia teriak senang, dia segera bangkit menyambutku dengan muncratan kata-katanya yang tak kupahami benar, dia rupa-rupanya bercerita tentang seekor burung  yang tergeletak di depannya itu. Aku tahu bahwa dia bercerita tentang burung yang masih tergeletak itu dengan caranya menunjuk-nunjuk dan garis-garis tangannya yang kurus itu di udara, dari ekspresinya aku jadi mengerti bahwa dia sedang duduk di taman itu, tiba-tiba ada burung terbang oleng, menabrak pohon dan jatuh tepat di hadapannya. Lantas si kakek mengumpulkan daun-daun yang ada di sekitar tempat itu, dia mengobati burung itu dengan kunyahan daun lalu cairan kunyahannya dia masukan dalam mulut si burung. Ajaib! Burung yang sudah sekarat itu mulai bergerak-gerak dan keinginannya untuk hidup menyala kembali.

            Si kakek senang, karena di usianya yang sudah lanjut itu dia masih memberi kehidupan bagi mahluk lain, itulah yang bisa kutangkap dari semua bunyi dan gerakan tangan serta ekspresinya, aku tertegun dan itu membuatku bisu beberapa saat. Mataku terpaku pada burung yang mulai berjalan dan masih terjengkang-jengkang, tetapi semakin lama semakin kuat, mataku masih terpaku padanya sampai bisa kusaksikan sendiri dia terbang ke salah satu dahan di balik rimbunnya dedaunan. Desahan napasku terhembus keluar, lega sekali.

            Si kakek terkekeh.

      “Nama … nama … kakek siapa?” kataku sambil menunjuk-nunjuk dadaku sendiri, dia mengangguk-angguk tanda paham.

            “Nama kakek siapa?” tanyaku sambil menunjuk-nunjuk dirinya

            Dia memandang sesaat dengan mata rabunnya, lalu seraya mengibas-ngibaskan lengannya, dia terkekeh geli. Kuulangi lagi pertanyaanku dan sekali lagi dia mengulangi gerakan dan tawanya. Mungkin dia tak mau menyebutkan namanya.

            Aku menjawab reaksinya dengan tawa lebar, kami jadi terkekeh-kekeh di siang bolong, sempat kusaksikan orang-orang memandang ke arahku dengan pandangan curiga

            “Saya ke sana dulu, yo. Mbah…” candaku pamitan sambil tertawa.
Share this article

0 komentar:

Posting Komentar



 
Copyright © 2014 Cerpen Dan Puisi • All Rights Reserved.
Distributed By Free Blogger Templates | Template Design by BTDesigner • Powered by Blogger
back to top